Posts

Showing posts from February, 2016

Keterkaitan Pemahaman Praktik Komunikasi yang Etis dengan Konsepsi Ruang Publik dan Profesionalisme

       Konsep ruang publik yang akan dibahas di sini adalah konsep yang diutarakan oleh seorang filsuf Jerman, yaitu Jurgen Habermas.  Mengutip apa yang telah dimaklumatkan oleh Habermas, ruang publik adalah sebagai berikut: a domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens… deal with matters of general interest without being subject to coercion…(to express and publicize their views) . [1] Jürgen Habermas menjelaskan konsep ‘ruang publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara ( state ) dan pasar ( market ). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memilik akses untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar. Konsep ruang publik diambil dari sejarah ruang publik kaum borjuis di Jerman pada abad delapan belas. [2] Ketika berbicara mengenai ruang publik dalam konteks media massa akan berbeda deng

Pentingnya Pemahaman Kode Etik oleh Pekerja di Bidang Komunikasi

Kode etik profesi juga diterapkan di bidang komunikasi. Komunikasi yang dimaksud di sini adalah komunikasi massa – artinya berhubungan dengan massa (publik). Dalam hal ini beberapa profesi yang mencakup bidang komunikasi adalah Jurnalis, Humas, pekerja iklan, dan lain sebagainya. Tiap profesi memiliki kode etik-nya masing-masing sesuai dengan peran-peran yang dijalankan. Pemahaman para pelaksana profesi komunikasi terhadap kode etik tentu menjadi hal yang penting. Mengapa begitu? Sebab pola interaksi yang dilakukan oleh para pelaksana profesi di bidang komunikasi berhubungan langsung dengan masyarakat. Sesuai dengan terma komunikasi itu sendiri, komunikasi merupakan proses pertukaran makna informasi melalui suatu media tertentu. Proses komunikasi sendiri terjadi ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan. Proses komunikasi atau penyampaian pesan ini sifatnya bisa linear (satu arah), interaksional maupun transaksional. [1] Harold Lasswell dalam karyannya, The Structure

Menilik Dualisme Status Tanah di Yogyakarta

  Munculnya UUPA seharusnya telah menyeragamkan sistem tata kelola pertanahan. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Yogyakarta. Bahkan, Sultan mengklaim bahwa tidak ada tanah negara di Yogyakarta. Belakangan ini, Yogyakarta digaduhkan dengan persoalan surat kekancingan yang terjadi di berbagai wilayah. Beberapa di antaranya adalah gugatan 1,12 Milyar pada lima PKL oleh penguasa bernama Eka Aryawan dan ancaman penggusuran warga Watukodok oleh Enny Supiani. Baik Eka maupun Enny merasa memiliki hak atas tanah tersebut karena telah memegang surat kekancingan. Persoalan sengketa tanah di DIY memang tengah marak terjadi, baik dilihat melalui pola vertikal maupun horisontal. Orang-orang saling mengklaim tanah sebagai ruang hidup dang penghidupan mereka. Udiyo Basuki mengatakan bahwa persoalan tanah di Yogyakarta disebabkan adanya ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah dan ketiadaan persepsi yang sama dalam pengelolaan tanah. [i] Hal ini bisa dilihat dari kemunculan surat kekan

Kesederhanaan Jalan Buntu

Aku sudah menduganya sejak awal, lelaki itu tak akan bertahan. Sama seperti yang lain, lelaki itu pasti akan pergi, membawa sekotak penyesalan. Aku kira, dia tidak hanya memanggul satu koper penuh penyesalan. Di belakangnya berdiri sebuah truk raksasa yang membawa syair penyesalan itu. Waktu itu, dia mengatakan bahwa aku adalah seorang yang rumit tetapi dia mengaminkan untuk tetap berada di sampingku. Ia berkata dengan lantang bahwa ia beruntung karena tidak lantas pergi. Berada tepat di sisiku, katanya, ia akan mengurai kerumitan-kerumitan yang serupa benang kusut di atas kepalaku. “Aku tidak tahan,” katanya. “Kamu benar-benar rumit,” lelaki itu kemudian mengemasi harga dirinya yang telah tercerai berai – tercecer di berbagai sudut ruangan. Beberapa harga diri telah berupa kepingan bahkan serpihan. Namun, ia masih tetap berusaha memungutinya dengan hati-hati dan mengantonginya dalam kantong plastik. Ia masukkan sekumpulan harga diri yang telah retak itu ke dalam kopernya.

Merumuskan Keikhlasan

Salah satu hal yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit dimengerti adalah keikhlasan. Apa yang harus kita katakan ketika orang-orang bertanya apa itu “ikhlas”? Suatu hari, seorang teman pernah mengirim pesan – isinya menanyakan tentang keikhlasan. Namun, aku tak bisa menjawab hal tersebut. Seharusnya aku dapat dengan mudah merumuskan abjad hanya untuk membuat kalimat yang begitu mulia tentang keikhlasan. Tetapi, aku mengurungkan niat itu – dan hanya menjawab dengan perumpamaan. Orang-orang menyebut ikhlas adalah menepis segala ego pribadi. Ada pula yang mengatakan bahwa ikhlas adalah rela atas segala sesuatu. Beberapa yang lain mengatakan bahwa ikhlas adalah menerima apa yang terjadi kepadanya. Semua orang hilir-mudik mendefinisikan ikhlas –mendeskripsikannya melalui abjad-abjad yang bermakna. Namun, di balik itu semua siapa yang mampu mendefinisikan ikhlas dengan sempurna. Sebab, kata seorang teman, ikhlas bukan perkara pemaknaan, ikhlas adalah ihwal pencapaian. Semua orang mampu

Jalan Padat di Dalam Kepala

“Kok, kamu rumit?” begitu kira-kira jawabannya atas perbincangan kami yang cukup panjang. Itu adalah pertama kalinya aku mencurahkan semua isi hatiku. Semua hal yang membuatku muak dan ingin memuntahkannya – memuntahkan tepat di wajah-wajah orang yang membuatku terbakar seperti sekam yang terjulur api. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekilas menatapku tajam. Ada keraguan yang sama di matanya – sama seperti laki-laki sebelumnya. “Kamu terlalu rumit,” ujarnya sekali lagi. Kini, dia menyeruput kopi yang sudah sejak lama dipesan dan hanya nganggur pada sebuah meja bundar. Semenjak kopi hitam itu hadir di meja itu, ia memang tidak menyentuhnya sama sekali. Ada lebih dari satu jam dan uap kopi itu menghilang. Sudah tidak panas. Bahkan, ketika mendengarkanku bercerita, lelaki itu tidak menyentuh kopinya. Wajahnya mengernyit. Mungkin kopinya sudah asam. Mungkin juga dia mulai memandangku dengan jijik. Memandang pikiranku dengan jijik. Memandang benakku dengan risih. Melihat segala

Enam Kali

Image
via http://faludiakademia.hu Ini adalah keenam kalinya saya membayar uang kuliah. Juga keenam kalinya saya menyetorkan berlembar-lembar uang pada teller bank yang sama selama tiga tahun terakhir. Entah kebetulan atau memang mas-mas teller bank itu enggan mengundurkan diri dari pekerjaannya itu; saya selalu kedapatan membayar uang kuliah kepada bliyo. Sudah enam kali dan setiap membayarkan uang kuliah, Mas-Mas Teller itu pasti senyum-senyum. Dari antrian yang cukup jauh pun, Mas-Mas itu sudah menyapa. Seolah-olah mengingat saya  dengan baik, tiga tahun yang lalu– mahasiswa baru yang tidak tahu caranya membayar uang kuliah di bank.

Menjadikan Ilmu Pengetahuan sebagai Alat Kekuasaan

Image
via http://cache2.asset-cache.net Permasalahan sengketa kepemilikan tanah di Indonesia adalah hal yang sensitif karena menyangkut kepentingan dua belah pihak atau lebih. Biasanya, sengketa kepemilikan tersebut terjadi antara rakyat dan pemerintah atau pemilik modal. Namun jika berkaca pada kasus Parangkusumo, sengketa tanah seolah-olah terjadi di antara rakyat dan akademisi. Sengketa tanah yang terjadi di Yogyakarta sendiri disebut-sebut berkaitan dengan Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PAG) yang diklaim sebagai salah satu keistimewaan Yogyakarta. Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, tanah SG/PAG sudah tidak ada lagi semenjak ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Melalui undang-undang ini semua tanah dinasionalisasi menjadi milik negara serta menghapuskan tanah kolonial dan juga tanah feodal.

Berkunjung ke Tempat Nenek

Selepas membaca judul, jangan langsung mengira kalau tulisan ini bercerita mengenai liburan saya di tempat Nenek. Sejujurnya, saya malah belum merasakan apa itu liburan seusai berjuang keras di medan perang semester lima ini. Selama liburan ini saya memang memilih untuk tetap di Jogja karena ada urusan pekerjaan dan berbagai hal lainnya. Lagipula, kalau di rumah juga tidak melakukan apapun. Ada satu rutinitas menarik ketika saya berada di Yogyakarta, yaitu berkunjung ke tempat Nenek -- entah sepulang dari kerja atau di malam hari. Kegiatan kami hanya dua, makan dan curhat. Hehe. Ngomong-ngomong nenek saya yang ini bukan literally Simbah-Simbah. Dia adalah karib saya di kampus. Nama aslinya Amalia dan saya biasa memanggilnya Lia. Dan, teman-teman kampus lebih mengenalnya sebagai Nenek. Jangan tanya alasannya sama saya. Saya pun juga ndak tahu. Hehe.  Ada banyak hal yang bisa saya ceritakan pada Nenek. Mulai dari hal-hal sepele sampai ke hal yang paling tabu sekalipun. Mu

Diskusi Pagi Hari

Pagi tadi, sehabis menjadi gelandangan Jakarta, saya mesti kembali dengan rutinitas sehari-hari. Terutama pekerjaan yang telah tersendat-sendat selama berminggu-minggu karena satu dan lain hal. Demi melengkapi pekerjaan itu dan juga menuntaskannya saya kembali mewawancara salah seorang akademisi yang menurut saya mampu memberikan pencerahan dan membuka mata dan telinga saya lebar-lebae. Bagi saya pribadi sih, saya tidak hanya mendapatkan informasi tetapi juga banyak sekali mendapatkan pelajaran. Dibandingkan mewawancara, saya lebih suka menyebutnya sebagai diskusi walau saya lebih banyak diam dan berdialektika sepertinya.  Obrolan kami sangat panjang: kami berdiskusi mulai dari moratorium yang sifatnya hanya politis sampai pada keprihatinan terhadap aktivisme mahasiswa yang mulai surut. Jika menyangkut aktivisme  mahasiswa, saya akui bahwa saat ini mahasiswa memang telah terjebak dalam ruang-ruang elit. Entitas mahasiswa menjadi hilang ketika kelompok terpelajar tersebut berjuang d