Posts

Showing posts from May, 2015

Tentang Mereka yang Bertanya Sudah Sejauh Mana Studi Saya

Image
Siang Tadi di Lift Siang itu aku bergegas menuju lantai empat untuk meminta surat kepada salah satu  dosen. Kami janji untuk bertemu pukul 10.00 pagi – dengan tergesa-gesa – aku yang biasanya sangat teledor akan waktu memanfaatkan lift agar cepat sampai ke lantai empat. Seperti biasanya ketika aku menggunakan lift sendirian, pintu lift yang terbuka selalu menunjukkan ruang kosong. Namun, ketika aku hendak masuk – seorang ibu-ibu dengan tergesa-gesa pula tergopoh-tergopoh dari kejauhan meminta pintu lift agar dibuka kembali. “Mbak! Mbak!” teriaknya (lucu). Aku pun menekan tombol “buka” agar ibu-ibu tersebut ikut masuk bersamaku. Tujuannya adalah lantai tiga. Di tengah-tengah keheningan yang menyergap sembari menunggu lift yang jalannya lama sekali – seolah-olah panjangnya jutaan tahun cahaya, “Jurusan apa Mbak?” “Komunikasi Bu,” “Semester?” “Empat,” aku tersenyum kecil. “Wah, cepat lulus aja ya mbak,” Dan lift pun terbuka, lantai tiga terlihat, ibu itu bergegas pergi d

Laki-Laki Juga Punya Stereotipe

Image
Let me tell you something. All men are the same all over the world -- They're bad. If men were good, I wouldn't waste my time being gay. (The Library)

Menggugah Empati Masyarakat kepada Korban Kekerasan

“Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta seharusnya bisa lebih santun memperlakukan perempuan,” ujar Budi Wahyuni, Minggu (10/05). Ketua PKBI itu melontarkan pernyataan sikapnya dalam acara Malam Solidaritas di Titik Kilometer Nol Yogyakarta.  Acara bertajuk “ Tribute to Our Sisters ” tersebut adalah satu dari serangkaian aksi dalam gerakan Jogja Ilang Rasa. Gerakan itu adalah bentuk kritik atas menurunnya sikap solidaritas dan kepedulian terhadap sesama, khususnya korban kekerasan seksual dalam sepekan terakhir. “Dua kasus kekerasan seksual yang menimpa SA dan EM sangat memprihatinkan. Padahal, Yogyakarta seharusnya berhati nyaman untuk perempuan,” ujar Chandra, perwakilan Jaringan Perlindungan Perempuan Rumah Tangga (JPPRT). Menanggapi kasus kekerasan pada perempuan, Alissa Wahid dalam orasinya mengatakan bahwa perempuan memang rentan menerima penindasan.  Hal tersebut dikarenakan mereka dianggap lemah dan tidak memiliki hak. “Perempuan, bahkan di ruang yang sangat privat semakin dilemahk

Kampung Badran, Progresif dalam Membentuk Kampung Ramah Anak

Image
Demi mewujudkan Kota Layak Anak (KLA), Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta berencana membentuk Kampung Ramah Anak (KRA) sejak tahun 2011. Untuk merealisasikannya, Pemkot Yogyakarta menjadikan Kampung Badran sebagai percontohan. “KRA pertama direalisasikan di RW 11 pada tahun 2012,” jelas Joko Sularno saat ditemui di Kampung Badran pada (07/04). Selama tiga tahun terakhir, pertambahan KRA di Kampung Badran cukup progresif. Menurut Joko, saat ini terdapat 6 dari 13 RW di   Kampung Badran telah menjadi KRA. Jumlah tersebut, jelasnya, cukup banyak dibandingkan kelurahan lain. Beberapa RW yang telah menjadi KRA antara lain RW 3, 5, 9, 10, 11, dan   12 yang akan direalisasikan tahun ini. Walaupun begitu, program-program KRA setiap RW berbeda-beda. Hal tersebut dituturkan oleh Sabar Budi, Ketua RW 10, “Setiap RW membentuk programnya sendiri. Jadi, kegiatan KRA tiap RW juga berbeda-beda,” jelasnya.   Kegiatan KRA di RW 10 sendiri, jelas Sabar, beraneka ragam dan sangat banyak

(Ter)Tidur dan Hal-Hal yang Belum Selesai

Image
“Lam, bagianmu durung ana ning emailku !” sebuah pesan singkat aku baca dengan samar-samar ketika (tak sengaja) terbangun dari tidur. Dengan sedikit ogah-ogahan membuka mata, aku pun membalas pesan itu, “ Sorry, aku keturon. Sik ya ,” – dan kemudian merebahkan kembali tubuh yang letih – kembali mengarungi dunia mimpi – yang tidak pernah kunjung menjadi nyata. *** Akhir-akhir ini, aku tidak pernah benar-benar tidur. Aku selalu ketiduran – dalam artian aku tidak pernah benar-benar setuju kapan dan di mana aku harus tidur. Aku tidur begitu saja tanpa yakin bahwa hari ini semua hal telah terselesaikan. Aku selalu tidur dalam keadaan aku tidak ingin tidur terlebih dahulu.  Aku selalu tidur dalam keadaan aku belum bersiap-siap untuk tidur. Aku selalu tertidur dan terbangun dengan membawa hal-hal yang belum usai dari hari kemarin. Akhir-akhir ini, aku tidak pernah benar-benar tidur. Aku selalu tertidur dengan setumpuk pekerjaan bertebaran di atas kasur yang aku jumpai di pagi har

Apatis

Aku tidak tahu bagaimana menyampaikan suatu rasa yang tak lagi bisa dikecap, kelu dilidah, tak bertulang, hingga semua papila tercerabut. Aku tidak tahu bagaimana harus menyatakan kasih kepada orang lain melalui intuisi verbal – menuliskannya mungkin – atau bahkan mengucapkannya langsung. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu, aku tidak mengerti, bagaimana menuturkan rasa dan berucap kasih kepada  keluarga, sesama teman, atau bahkan orang lain. Aku hanya terdiam dalam sudut tergelap sambil mendoakan yang terbaik untuk mereka semua. Tapi toh, kebanyakan orang selalu melihat segala sesuatunya dari yang nampak. Sebab hati tidak terlihat, tersembunyi di bagian organ-organ tubuh paling terdalam. Yah, sayang, mereka semua pasti luput jika sebetulnya aku sangat menyayangi mereka semua. Tapi, mungkin – yang ada di pikiran mereka hanyalah sebatas ketidakpedulian tentang segala sesuatu hal yang berada disekitarku. Apatis – mereka bilang. Katanya, aku cuek. *** Ayahku bilang, aku pribadi

Peperangan

Image
Dulu, dalam masa peperangan, akan ada banyak orang-orang yang terpisah. Pemuda-pemuda akan diciduk untuk ikut melawan "musuh" demi memperjuangkan tanah air mereka. Ibu-ibu mereka akan harap-harap cemas dengan kepulangan mereka. Adik-adik mereka akan sangat merindukan gendongan kakaknya. Sementara pemuda-pemuda itu -- di medan perang, bergulat bersama peluru-peluru dan ranjau-ranjau yang bahkan mereka seringkali lupa menanamnya di mana. Dulu, dalam masa peperangan, akan ada ba nyak ibu yang patah hati ketika mendengarnya anaknya tidak akan kembali lagi. Bahkan tanpa nisan. Hingga tiada kunjungan yang dapat dilakukan sang ibu. Adik-adik mereka akan menangis dan memandang iri teman-teman mereka yang kakak-kakaknya pulang dengan selamat. Sementara, tubuh-tubuh para pemuda itu -- di medan perang telah terburai oleh peluru-peluru yang menukik tajam dan ranjau yang tak sengaja meledak. Sementara itu, nun jauh setelah peperangan berlangsung, orang-orang yang hanya mengandalka

Kapitalis? [1]

Image
Via bahteraummat.files.wordpress.com               Beberapa tahun silam – mungkin sekitar dua tahun yang lalu, aku berjalan-jalan dengan salah seorang teman karib di sebuah mall besar di Magelang. Bisa dibilang satu-satunya Mall di sana. Aku sih, berharapnya, tidak akan ada Mall lagi. Cukup satu – aku pikir gaya hidup orang Magelang enggak terlalu membutuhkan Mall. Masih banyak pasar tradisional yang mampu menghidupi dan mencukupi kebutuhan masyarakat Magelang.                 Ah – lepas dari persoalan “masih butuhkan kota Magelang akan kehadiran Mall”, aku ingin bercerita  ihwal “konten mall” yang diperjualbelikan. Saat itu aku masih ingat betul – selepas membeli sepatu yang super tipis (sebab namanya memang flatshoes), aku dan teman karibku, sebut saja namanya Nida, mengunjungi sebuah toko lain yang juga menjual sepatu. Di barisan depan gerai toko itu, sebuah sepatu dengan hak setinggi limabelas senti terpajang di sebuah etalasae. Di sampingnya terdapat kertas bertuliskan, “Di