[Cerpen] Menyapa Angin di Pagi Hari



Oleh Lamia Melodi (Lamia Putri Damayanti)

Tuhan, berilah aku keberanian untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya.
***


via http://40daysforlifepittsburgh.com

Pagi tak pernah terasa pagi bagiku. Tidak ada perbedaan pagi, siang, sore dan malam yang signifikan aku pikir. Semuanya sama, gelap terang terasa sama. Karena selalu ada dia yang menetralkan suasana hatiku. Bagiku, dialah angin pagi yang berhembus semilir dalam benakku, berputar-putar seperti angin siklon yang tiada henti.

Menjadi pelampiasan memoir yang terus bergelut dalam hari. Dia adalah dia, yang kupuja dan kunikmati di pagi hari.

“Hei, pagi?”

Dia menengok ke arahku sebentar kemudian kembali mencermatiku buku cetaknya yang agak tebal. Apakah dia mendengarku? Atau hanya mencari gerakan untuk melepas rasa penat yang menumpuk?

“Hei, pagi?”

Dia kembali menoleh, menampakkan binar wajahnya yang berseri seperti angin segar di sore hari.

Aku terdiam cukup lama. Memandanngya dalam ruang semuku yang berlapis gelap – walau esok telah pagi sekali pun.

“Hei, pagi?”

Semua salam dan sapaku ternyata tercekat di tenggorokan, ditarik dan dimasukkan paksa ke dada. Semuanya semu. Tidak ada yang benar-benar kuucapkan untuk ia dengar. Entah tadi ia menoleh ke sini untuk apa – aku pun tidak tahu.

Yang jelas keberanianku selalu luntur begitu saja, aku tak pernah mampu mengucapkannya. Aku tak pernah mampu bersikap persuasif untuk mengadakan adu argumentasi dengannya. Mengapa aku begitu penakut?

Dan hari ini, ketika para penuntut ilmu – yang kukira ilmu tidak memiliki kesalahan hendak bergegas ke pengadilan pendidikan, aku lagi-lagi hanya terkurung dalam keinginan konyol yang tak akan pernah bisa kuraih.

Aku hanya dapat melirik malu-malu pada sesama penanti bus di halte biru yang atapnya penuh dengan bunga bugenvil. Membuat suasana menjadi terlihat bersahaja dengan cinta. Seperti alur drama yang dibuat-buat.

Tapi kisah ini, tidak dibuat-buat. Sungguh-sungguh terjadi, seperti berita-berita di surat kabar. Dan bukan majalah infotainment.

Hampir dua tahun ini aku menjalani rutinitas konyol di pagi hari, menunggu bus di halte hanya untuk bertemu dengannya. Berusaha bangun pagi agar tidak terlambat ataupun melewatkan kehadirannya. Memilih berdesak-desakan di bus daripada diantar dengan motor.  Selalu datang tepat waktu, agar bisa melihat sosoknya dari awal hingga akhir. Semua hanya karena angin itu. Angin yang tak pernah mampu kujangkau, karena ia terus berhembus. Mengalir secara cepat bagaikan kilat. Padahal ia hanyalah angin.

Seolah mataku tak pernah bisa lepas darinya, berbagai pertanyaan selalu muncul beriringan dengan sosoknya. Siapa namanya? Dari mana ia? Bisakah aku mengenalnya lebih jauh? Segala pertanyaan yang berhubungan dengannya melekat erat. Membuat rasa penasaranku semakin menguar dan terhembus kemana-mana.

Aku hanya tahu dia murid dari SMA Pancasila – tak lebih. Itu pun karena seragam identitas yang dipakainya. Aku tak pernah berani mendekat, atau menggeser jangkah kakiku hanya untuk melihat nama yang terjahit di bajunya.

Aku hanyalah pemujanya yang menghabiskan berwaktu-waktu demi mempertahankan masa untuk dapat melihatnya. Kalian pikir itu sia-sia? Tidak juga – bahkan mungkin memang tidak. Karena dengan melihatnya, bebanku yang bertumpuk bisa hilang.

Tuhan, izinkanlah aku, untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya. Sekali saja. Agar dia mengenangku sebagai teman penanti bus di kala pagi hari.

Aku jadi berpikir, apakah ia peduli dan memberikan respon terhadap kehadiranku? Atau jangan-jangan ia malah tidak pernah tahu bahwa aku selalu di sini untuk menemaninya di pagi hari.

Ah, ia terlalu suka bergaul dengan bukunya. Bukan dengan sesamanya. Atau setidaknya, kami berdua bisa mengobrol banyak di sini.

Dan sebuah persegi panjang bermesin dengan lapisan baja yang beroda pun berhenti tepat di depan kami. Menghentikan dimensi-dimensi yang telah terjalin sedemikian rupa. Melepaskan momentum yang menimbulkan aksi dan reaksi yang tidak diharapkan.

Kehadiran bus itu menghancurkan segalanya, mengakhiri kisahku di pagi ini bersama dia. Akankah ada esok pagi untuk melihatnya kembali?


***

Jika aku harus bercerita tentang cinta pertama. Maka, aku akan menjawab, ‘Ya, mungkin dia memang cinta pertamaku,’. Padahal dalam pernyataanku ini, aku belum tentu tahu apa itu cinta beserta maknanya. Aku mengenal cinta, tapi aku belum tentu benar-benar memahaminya. Tapi, setidaknya, aku memiliki cinta. Di mana aku bisa mencintai seseorang yang aku pikir – ya, dia memang pantas untuk dicintai. Karena semua orang memang punya hak paten dalam hal ini.

“Bagaimana dengan misi selamat pagi-mu itu?” tanya Asri memulai pembicaraan. Aku hanya merespon dengan gelengan pelan.

“Gagal lagi?”

“Ya, entah yang sudah keberapa kali,” jawabku sambil menghela napas pelan-pelan.

Ayolah, Marry, kamu adalah perempuan dan dia laki-laki. Apakah aku benar-benar seberani itu untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya? Apakah aku benar-benar punya nyali untuk memulai segalanya. Di mana-mana laki-laki-lah yang seharusnya menjejakkan kakinya duluan. Seperti Adam, yang terlebih dahulu ada ketimbang Hawa.

Masa aku yang harus mencoba memulainya. Toh, lagipula ia belum tentu memberikan respon. Aku malah terlihat agresif dalam posisi ini. Biarlah mengalir seperti angin. Tapi bagaimana jika ia tersendat?

 “Kamu pasti bisa,” ujar Asri memberi semangat. Aku pasti bisa? Kupikir tidak, semua ini hanyalah ruang semu yang tidak berbatas.

“Tidak, kurasa tidak.” Asri menatapku tajam, dia tahu benar bahwa aku punya misi ‘selamat pagi’ untuk anak dari SMA Pancasila itu. Tapi, dia tidak pernah tahu benar, bahwa aku akan menyerah. Menyerah untuk meninggalkan misi konyol itu – misi yang aku perjuangankan hanya demi sebuah cinta pertama.

“Kenapa? Kamu menyerah? Secepat itukah?”

“As, dengar aku baik-baik. Kurasa ini adalah solusi terbaik daripada aku harus termangu sendirian di halte. Aku perempuan dan dia laki-laki. Orang-orang masih menganggap bahwa perbuatan yang akan aku lakukan ini tidak lazim. Hal ini lebih baik dilakukan oleh pria dulu, daripada wanita. Lagipula, ini tidak secepat yang kau pikirkan. Ini lama, dan ini dua tahun – atau lebih, mungkin? Jadi kurasa, ini memang puncak usahaku. Ada hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan bukan?” ujarku – alibi untuk memotivasi diri sendiri. Selebihnya, ada bayang-bayang yang mengalir indah di dalam otakku, menelusuri tubuhku sampai ke hati.

Ya, ia ada dalam hatiku. Menjelma sebagai nadi yang terus berdegub walau bayang nyatanya tidak ada di sini.

Asri terdiam untuk beberapa saat – kemudian menatapku tajam. “Pertama adalah pertama. Tidak sama dengan yang kedua maupun yang ketiga. Dan yang pertama, tidak akan pernah terjadi untuk kedua kalinya, begitu pula angka-angka urutan yang lain. Simak baik-baik, Marry, segalanya tidak terjadi dua kali. Pertama adalah pertama,”

Dan ucapan Asri terus terngiang-ngiang dalam benakku, menguar tajam bersamaan dengan bayangnya.

Segala tidak terjadi dua kali. Pertama adalah pertama.

***

“Hai, pagi? Hari ini hari yang cerah, ya? Tapi sayang bus-nya tidak kunjung datang. Ngomong-ngomong kamu naik bus jurusan apa?”

Tertelan. Semua sukses tertelan. Dan lagi-lagi aku tak sanggup mengatakannya. Lidahku kelu, dan bibirku terekat erat satu sama lain. Tidak ada yang bisa kusuarakan di sini. Suasana halte tampak sepi karena waktu baru bergulir ke angka setengah tujuh, membuat orang-orang masih enggan untuk menguarkan aura semangatnya untuk keluar dari rumah.

Beda denganku, yang masih punya misi. Sebuah misi konyol yang aku pun masih belum mengerti – mengapa aku melakukannya. Semuanya di luar nalar, semuanya diluar kontrol logika. Karena yang berjalan adalah perasaan, tentu emosi yang mewakilinya.

Terkadang, aku merasa sangat konyol. Ini tidak masuk akal! Menjadi pemuja rahasia di kala matahari masih enggan untuk bersinar. Menjadi seorang stalker sejati di pagi hari. Mencuri-curi gerak-geriknya ketika bayangan di tanah memanjang dan membelakangiku.

Mengapa aku dengan tega menghabiskan setiap pagi hanya untuk memujanya. Memuja cinta urutan kesatu. Padahal, belum tentu menjadi yang terakhir. Harusnya aku ingat, pernyataan apa yang jadi pondasi keruntuhan ini. Bukankah ia belum tentu memperhatikanku seperti aku memperhatikannya. Bukankah ia belum tentu peduli padaku, seperti aku peduli pada gerak-geriknya. Bahkan mungkin, ia belum tentu tahu bahwa aku ada di sini.

Karenanya, beranikan untuk menyapanya. Buat kesan bahwa kau ada. Jangan biarkan angin berhembus dan menggoyangkanmu begitu saja. Tunjukkanlah bahwa keberadaanmu yang ibarat rumput, meyakinkan angin yang kasat mata, bahwa ia ada. Dan jangan biarkan ia berhembus begitu saja. Jangan biarkan ia melaluimu tanpa tahu, bahwa kamulah yang memberi warna pada keberadaannya. Jangan.

Sebuah suara berbisik. Memberikan sebuah tombak semangat yang memberanikanku.
“Apa kabar? Bagaimana kabarmu?”

Tidak ada jawaban. Karena semua kalimat itu lagi-lagi tertelan.

Aku rumput di pagi hari yang pengecut. Lebih pengecut dari bakteri sekali pun.

Tuhan, mengapa sulit sekali untuk memberi salam selamat pagi untuknya.

Aku masih berkutat dengan angin pagi yang menyesakkan. Angin pagi yang menyumbat otakku untuk berpikir sampai akhirnya ada sebuah suara yang memanggilku – entah yang keberapa kali. Yang jelas, aku sedang terjun bebas ke dalam alam bawah sadarku.

“Permisi, mau tanya,”

Bayang-bayang itu kembali berdegub di dalam nadiku. Tiba-tiba auranya menguar ke segala penjuru. Entah itu barat atau timur. Semua serasa di dalam kotak dimensi yang mengurungku dan dia.

Dengan segala keterkejutan yang ada. Aku berusaha untuk menoleh kea rah suara itu. Suara angin pagi. Angin tak pergi begitu saja, ia peduli pada seonggok rumput yang sekarat di pagi hari.

“Y-ya?”

Dan benar, memang dia. Bayanganku tentang dia sukses sudah! Aku tahu bagaimana dia secara visual, dan kini aku tahu benar tentang dia secara audio. Bagus, angin yang indah. Dan tentu saja, hari ini aku tidak perlu mencekik leherku sendiri karena ia tidak mau berkompromi. Laki-laki itu, malah yang terlebih dahulu bersuara.

“Jam berapa ya? Aku lupa bawa jam tangan,” dengan gelagapan aku menarik tanganku dan mencoba mengecek pukul berapa sekarang. Aku tak habis pikir, apa yang aku idam-idamkan selama dua tahun terakhir akhirnya terjadi.

Dia berbicara padaku. Dia sedang berbicara padaku. Padaku! Aku!

Aku bukan rumput yang terlupakan! Dia telah meraih anganku!

“Jam setengah tujuh lebih lima,” jawabku, sebisa mungkin kulancarkan agar tidak menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak pada benaknya.

Tapi, aku heran, mengapa ia tidak melihat jam di ponselnya. Atau jangan-jangan, ia memang punya tujuan terselebung.

Aku berharap yang tidak-tidak. Segalanya tampak terancang indah. Jika akulah sang Penghendak maka pasti akan lebih indah lagi dari ini. Sayangnya, aku bukan Dia. Dia yang begitu Agung menciptakan takdir. Sedang aku, malah menyebutnya kebetulan karena aku tak percaya kenyataan pahit. Aku menganggapnya sebagai ilusi.

Padahal, Tuhan, pasti menciptakan rancangan waktu yang lebih indah daripada yang aku pikirkan.

“Oh, makasih,” jawabnya – tersenyum. Lagi-lagi, bayanganku tentang dirinya semakin sempurna. Aku kini melihat senyumnya. Sebuah simbol yang mendekatkan jarak antar dua manusia. Itulah senyum, itulah fungsi senyum yang sebenarnya.

“Kamu naik bus jurusan apa?”

Aku tergagap. Ini pertanyaan yang tadi tersimpan erat dalam benakku. Dan kini, ialah yang dengan sukarela menanyakannya.

Haruskah aku menjawab, “Kau tahu, aku ingin menanyakan hal ini terlebih dahulu untukmu,”

“Aku naik bus jurusan Samirana,”

“SMA Garuda?” tebaknya. Aku hanya mengangguk malu. Bagaimana bisa pembicaraan ini mengalir begitu saja. Aku ingin, pembicaraan ini akan terus mengalir. Seperti angin yang tak pernah berhenti berhembus. Tapi, aku ingin angin tahu, bahwa ia meninggalkan jejaknya padaku.

“Kalau kamu?” aku mencoba balik pertanya, berharap akan timbul pertanyaan-pertanyaan berikunya.

“Aku naik bus jurusan Braja. Mau ke SMA Pancasila,” ujarnya sambil lagi-lagi – tersenyum.
Pembicaraan terus berlanjut. Kami berbicara tentang hal-hal sederhana sampai yang rumit. Dari yang tidak terpikirkan sampai yang menjadi beban. Segalanya kami saling bercerita Saling memberi informasi.

Aku harap ini tak berakhir pagi ini. Aku harap ini tak berakhir hari ini saja. Masih ada hari esok untuk saling bertukar sapa dan bercerita. Aku harap tak akan berakhir.

Tiiin!!!

Suara klakson tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku berada di luar trotoar, mendekati tempat pemberhentian bus. Dan semua bus telah geram dengan keberadaanku yang tidak tepat. Aku segera berjalan mundur sambil menunduk – malu. Dan tiba-tiba semua terlihat begitu nyata dengan eksata-eksata yang ada. Ekspektasiku hancur sudah. Lebur dalam hembusan angin yang mengalir entah kemna Ternyata semua hanyalah semu. Tidak ada yang benar. Semua hanya berada dalam pikiranku. Beradu dalam ilusi yang aku pikir – itu pasti nyata.

Tapi ternyata tidak ada perkacapan sistematis yang terjadi, semua hanyalah ilusiku – yang sering kukatakan kebetulan. Makanya aku menyebutnya kebetulan – karena akulah yang membuatnya dalam alam pikirku. Bukan takdir – yang nyata Tuhan ciptakan.

Karena takdir Tuhan tak bisa kuprediksi. Aku hanya bisa berekspektasi sampai segalanya menjadi doa-doa – semoga menjadi kenyataan. Sampai akhirnya, aku tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang semu.

Kulihat, laki-laki itu telah bergegas masuk ke dalam bus. Bus jurusan Bantala, dan bukan bus jurusan Samirana seperti apa yang ada di dalam ilusi. Semua tiba-tiba terhempas, dan hempasannya terhembus oleh angin. Aku ilusi, aku hanyalah ilusi pagi yang memuja-muja emosi terindah pertama yang tak kunjung mendekat.

Semua terhempas, terinjak oleh roda-roda mesin berbaja yang melaju dengan kecepatan tinggi. Angin meninggalkan rumput yang telah terporak-porandakan. Tidak ada yang nyata. Dan klakson-klakson hina itu telah menghancurkan khayalanku.

Aku menatap laki-laki itu. Laki-laki yang ingin aku sapa setiap pagi. Tapi ternaya, aku tidak punya keberanian untuk bertukar sapa dengannya. Sampai akhirnya kami tidak pernah bertemu lagi di halte, aku belum juga bisa mengucapkan selamat pagi kepadanya. Entah di mana ia sekarang. Kelu dan sesal masih tertinggal. Misiku yang telah terpendam bertahun-tahun, akhirnya kunyatakan gagal. Pertama adalah pertama, dan tak akan tergantikan.

Walaupun aku tak pernah mampu dan aku tak pernah berani mengucapkan selamat pagi kepada-nya. Tapi rutinitas setiap pagi itu akan terus kukenang. Sebuah perjuangan konyol untuk melihat sosoknya di pagi hari.

Sosok yang telah terhormat menjadi bagian dari kisah romanku. Dialah yang jadi awal. Yang jadi cinta pertama sebagai angin yang tak pernah melihat sejumput rumput. Mungkin, esok – entah berapa lama masa yang akan terlewatkan.  Aku mulai berekspektasi (lagi) – bahwa aku akan bertemu dengannya lagi. Dan pada hari di mana aku akan bertemu dengannya.

Lidahku tiada kelu lagi, bibirku tiada rekat lagi. Dan aku akan sanggup mengatakan. “Selamat pagi, Angin,”

***

Hereeee we goooo.... longtime no post khusus buat aku sendiri (?). Dan hari ini aku membawakan sebuah cerpen. And well, cerpen ini dimuat di majalah Kawanku edisi 4-18 September kemarin kalo nggak salah. Seingetku bulan September itu aja. Dan bulan September kemarin emang September Ceria banget. Soalnya, baru kali ini, cerpenku dimuat di dua media berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Many.... thanks to God, My Beloved Allah. Cerpen yang satunya dimuat di majalah Gogirl. Kapan-kapan juga bakal aku post. Tenang aja... kalian akan kusuguhi dengan cerpen-cerpen absurdku hahaha. Oh, ya, sebenernya cerpen ini sebelumnya aku kirim ke Gadis. Tapi nggak ada kabar. Hiks :" Ya udah deh jadinya aku kirim ke Kawanku. Eh, dimuat :3. Dan ini cerpen ketigaku yang dimuat di Kawanku. Big thanks to Allah, Bapak, Ibuk, mbak-mbakku dan adekku. 

Salam cinta dari saya :*

Comments

  1. mbak, klo majalah Gogirl honornya berapa, ya? hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Intan :) Maaf ya baru bisa membalas sekarang. Aku jarang cek komen. Untuk Gogirl sekitar 500ribu (pas jamanku dimuat). Semoga membantu yah ;)

      Delete
  2. Keren banget ceritanya,
    ada tips tersendiri gak supaya cerpen kita bisa terbit di majalah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Ola, salam kenal ya sebelumnya. Tips tersendiri liat segmentasi aja sih. kalau segmentasi majalah remaja ya tulis cerpen yang bercerita tentang dinamika kehidupan remaja. Semoga membantu Ola :)

      Delete
  3. Sebelumnya selamat ya mb, cerpennya udah dimuat.
    Klo mau ngirim, biasanya syarat2nya apa ya? Mksh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Nidaul Khasanah, mohon maaf jika saya balasnya lama ya. Khusus untuk Kawanku syarat-syaratnya ada di jumlah karakter. Kalau tidak salah Kawanku 6-8 halaman kuarto. Selamat Mencoba ya Nida :D

      Delete
  4. cerpennya bagus. eh mau nanya ngirim ke do girl berapa karakter ya? emallnya apa?. thanks, oya salam kenal.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi