Posts

Delapan, Pandemi, Opini

Sudah bulan Desember. Sudah lebih dari delapan bulan merasakan pandemi. Selama itu pula, aku sedang bertanya-tanya; apa yang akan Bapak-Ibu katakan soal pandemi? Apa yang mereka lakukan? Antisipasi seperti apa yang mereka bangun? Apakah Bapak akan berkomentar seperti biasanya. Apakah Ibu akan merasa cemas seperti biasanya. Selama delapan bulan ini aku terus bertanya-tanya. Tetapi, tentu saja tidak ada jawabannya. Tidak apa-apa. Hidup penuh misteri dan selamanya akan penuh tanda tanya.

26 dan Dua Tahun dalam Kekosongan

Aku memutuskan membuka blog ini lagi dan menyadari bahwa aku sudah tidak menulis apapun sejak 2017. Dalam kurun waktu itu hingga sekarang terjebak dalam situasi pandemi, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sudah lulus sebagai sarjana komunikasi. Aku menjadi lulusan terbaik. Indeks Prestasiku 3.8. Aku bahkan pidato di depan puluhan wisudawan lain dan mengatakan banyak omong kosong. Semuanya terjadi pada November 2017. Mungkin mereka semua sudah lupa dan hanya aku satu-satunya yang ingat kalau aku pernah menjadi mahasiswa terbaik sefakultas dan perlahan dilupakan karena saat ini hidupku berakhir sebagai seonggok sampah berserakan setelah hujan di pinggir-pinggr jalan. Setelah lulus, apa yang terjadi? Rentetan kisah buruk. Ibuku meninggal Agustus 2018, dan ayahku menyusul tepat setahun setelahnya, September 2019. Aku masih mencoba berpikir positif soal tahun-tahun terberat dalam hidupku tetapi Tuhan justru memberiku kesempatan untuk merasakan kesedihan kolektif karena pandemi. Melihat be

Fragmen

#1 "Ya, aku bukannya nggak suka. Suka banget malah. Tapi aku tahu diri, kok," "Kok gitu?" "Nggak mau terjebak untuk kedua kalinya," "Apa hubungannya?" "Hmm... nggak tahu..." "Jadi?" "Kok, jadi?" "Suka atau enggak?" "Ya... suka... kan aku udah bilang," "Terus?" "Ya udah," "..." "Aku sadar diri. Dia emang orang yang mudah dicintai dan mencintai. Sesederhana itu. Makanya aku jadi tahu diri," "Aku bingung kamu ngomong apa," "Sama, sebenernya aku juga bingung daritadi aku ngomong apa. Kita ngomongin apa," #2 "Aku cari uang yang banyak biar bias makan yang enak-enak terus! Tipikal banget ya, cuman ngurusin perut sendiri!" "Kalau makanan enak berarti kamu mikirin lidahmu dong," "Hehehe... jadi bukan perut ya?" "Bukan, kamu cuman nggak mau merasakan sesuatu yang buruk. Setelah semuanya bur

Kebijakan Registrasi Kartu Seluler Ancam Keamanan Data Pribadi

Mulai 31 Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018, pemerintah menetapkan kebijakan baru untuk melakukan registrasi penggunaan kartu seluler dengan memberikan NIK dan KK. Meski dianggap menjadi salah satu langkah menekan angka kriminalitas, kebijakan tersebut tidak terlepas dari berbagai persoalan, terutama terkait dengan keamanan data pribadi. Data pribadi menjadi persoalan yang pelik dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sebab, tidak ada kejelasan mengenai nasib data pribadi yang akan diberikan pada perusahaan jasa provider. Hal itu diutarakan oleh Sinta Dewi, Ketua Cyber Law , Fakultas Hukum Unpad dalam diskusi publik bertajuk, “Regulasi Seluler: Wajib Registrasi, Perlindngan Tak Pasti?”. Selain Sinta, diskusi tersebut juga menghadirkan Rony Primanto, Kepala Dinas Kominfo DIY dan Heru Tjatur, CTO Kumparan. Acara yang berlangsung pada Sabtu (28/10), menjadi wadah untuk membaca ulang kebijakan wajib registrasi menggunakan NIK dan KK, terutama hak-hak perlindungan masyarakat terhadap d

Tentang Manusia dan Kemanusiaan Bagian 1

“Mbak, jangan kaya orang bego ya kalau di Jakarta. Pokoknya hati-hati. Jangan percaya siapapun. Selalu waspada,” Hampir semua sopir gojek yang mengantar saya ke stasiun atau bandara mengatakan hal demikian sewaktu tahu saya mau ke Jakarta. Lugas sekali ngomongnya. Bahkan terkesan agak terburu-buru. Seolah-olah saya harus segera tahu dan membuat banyak siasat yang jitu untuk mengatasi semua ketakutan-ketakutan dan ancaman-ancaman mengerikan setiba di Jakarta. Kadang-kadang, saya jadi berpikir, apa yang perlu ditakuti dari Jakarta? Mengapa setiap kali kaki saya melangkah menuju ke sana, orang-orang selalu menasihati dengan nada setengah takut dan was-was. Kalau harus memilih, saya jauh lebih takut dengan selokannya yang berwarna hijau, sampah-sampah yang berserakan, air yang katanya bersih tapi cuman oplosan kaporit, kemacetan, dan kegaduhan-kegaduhan lain yang awet dalam hiruk-pikuk. Tetapi, dibandingkan ketakutan setengah mati akibat air kotor dan sanitasi yang mengerikan,

Pertanyaan tentang Menikah

“Kalau panjenengan mau menikah kapan? Masih lama atau sebentar lagi?” “Sinten?” gagapku bertanya. “Nggih panjenengan,” “Oh, masih lama, hehehe,” jawabku sambil tertawa. Meski kedengaran berbeda. Tidak loss, tidak jujur, dan seperti dipaksakan. *** Sejujurnya, saya selalu merasa geli ketika ditanyai perihal menikah. Rasa-rasanya saya belum cocok mendapatkan pertanyaan seperti itu. Rasa-rasanya saya belum pantas. Meskipun, secara usia, saya sudah legal untuk melangsungkan pernikahan. Teman-teman seusia saya, bahkan yang lebih muda saja sudah mendului menikah. Beberapa yang lain sudah punya momongan. Sayangnya, buat saya pernikahan itu perjalanan yang panjang. Bagi saya, menikah adalah sebuah keputusan terbesar untuk menjadi dewasa. Kalau tak salah ingat, dosen saya yang pernah bilang bahwa menikah adalah perkara menjadi dewasa. Orang-orang yang memutuskan menikah adalah mereka yang (berani) memutus masa “kanak-kanaknya”, memasuki satu fase yang dewasa, mendewasakan, me

Petani yang Lugu

Sebab mereka adalah petani, mana mungkin punya ide sebrilian menyemen kaki. Pasti ada orang lain di balik itu semua. Pasti ada ada aktor berkepentingan lain. Pasti mereka dimanfaatkan. Pasti begini. Dan pasti begitu. Lalu, bagaimana pula caramu memastikan semua kemungkinan-kemungkinan yang jelas-jelas adalah ‘mungkin’. Saya selalu tidak setuju ketika aksi rakyat selalu dipelintir. Terlepas memang dipolitisasi atau tidak, apa yang dilakukan oleh para petani Kendeng pastilah bukan sekadar ide-idean yang keluar dari mulut orang lain. Apalagi, dengan menyebut bahwa mereka adalah petani-petani yang lugu – yang cuman ngerti bagaimana mencangkul tanah, menggemburkan tanah, mengairi sawah, menyambung saluran irigasi, memanen padi, dan lain sebagainya. Ide nyemen kaki itu sangat mengawang dan jauh dari identitas mereka sebagai petani. Kalau mau menggunakan bahasa yang jahat sekalian, petani-petani itu terlalu polos untuk tahu bagaimana caranya menyuarakan aspirasi. Kalau mau lebih